“Saya merasa terdorong terus menanam karena kehidupan masyarakat makin bagus."
Merdeka.com, Pasuruan - Adalah Mukarim, warga Desa Penunggul Kecamatan Nguling Kabupaten Pasuruan yang memiliki kecintaan luar biasa terhadap lingkungan sekitarnya. Bagaimana tidak, untuk menyelamatkan desanya dari ancaman abrasi yang terjadi terus menerus, pria berusia 70 tahun ini kemudian menanami bibir pantai di desanya dengan tanaman bakau (mangrove) sejak 31 tahun lalu atau tepatnya pada tahun 1986. Saat ini, kawasan bibir pantai yang ada di desanya pun rimbun dengan tanaman mangrove yang berfungsi sebagai sabuk hijau penahan abrasi sepanjang kurang lebih 175 hektare.
Perjuangan Mukarim kini membuahkan hasil, selain mampu menyelamatkan pemukiman warga desanya dari abrasi, keberadaan hutan mangrove yang dirawatnya pun memberikan manfaat lain. Yakni menjadi sumber kehidupan baru bagi warga desa, karena pulihnya ekosistem kawasan pesisir di Penunggul. Selain itu, hutan mangrove yang dirintisnya juga menjadi kawasan konservasi pantai.
Sebelumnya, kawasan bibir pantai di desanya merupakan kawasan yang gersang tanpa mangrove. Berawal dari biji-biji tanaman mangrove yang dikumpulkannya dari daerah sekitar desa hingga ke kawasan menuju pantai Probolinggo, dengan menggunakan sampan Mukarim membawanya pulang dan menanamnya. Biji-biji hingga bibit mangrove yang ditanamnya kini sudah menjadi barisan pepohonan rimbun.
“Awalnya gersang, tidak ada satu pohon pun satu desa ini. Sekarang, lautpun tidak kelihatan, rimbun tertutup daun mangrove. Tahun 1986 saya mulai menanam mulai di ujung perbatasan Probolinggo-Pasuruan yang dibatasi sungai Lawean sampai di Penunggul. Modalnya waktu itu ya hanya mengandalkan bibit yang saya ambil sepulang dari melaut, berjarak sekitar 15 kilo (kilometer) dari rumah,” jelasnya saat ditemui Bidang Data dan Informasi Publik, Dinas Kominfo Kabupaten Pasuruan seperti dikutip dari pasuruankab.go.id belum lama ini.
Mukarim mengaku tidak bosan untuk menanami bibir pantai desanya dengan bibit mangrove. Sebab, saat itu yang ada di benaknya adalah sebuah keyakinan bahwa tanaman mangrove yang ditanamnya akan memberikan manfaat besar. Benar saja, setelah rerimbunan mangrove terbentuk, desa terbebas dari abrasi, biota laut di kawasan pesisir pun kembali pulih dan para nelayanpun mulai memperoleh hasilnya ketika mencari ikan, kepiting hingga kupang. Tak hanya dari Penunggul saja, para nelayan dari daerah Probolinggo pun berbondong-bondong turut mencari nafkah di kawasan tersebut.
“Saya merasa terdorong terus menanam karena kehidupan masyarakat makin bagus. Dalam waktu 3-4 tahunan, saya sudah menanam mangrove di areal sekitar 20 hektar. Disamping mengatasi abrasi, akar mangrove juga tempat berkembangbiaknya kepiting, ikan, kupang dan biota laut lainnya. Karena kan planton berkumpulnya di habitat dasar yang masih utuh. Maka tidak heran kalau banyak nelayan yang mencari kepiting dan kupang ke sini, terutama waktu air surut. Mereka dari 5 Kecamatan, Lumbang, Kraton bahkan dari Kecamatan Lekok Sukapura Kabupaten Probolinggo,” ujar Mukarim mengisahkan penuh semangat.
Dia menyebutkan, tanaman mangrove juga dapat dimanfaatkan menjadi bahan baku makanan dan minuman. Buahnya dapat ddiolah untuk kemudian dijadikan sirup mangrove, begitu juga dengan ekstraknya dapat dijadikan keripik mangrove dan makanan ringan lainnya. Dari berbagai olahan tersebut warga di desanya kemudian menjadikan sebagai produk bernilai jual tinggi dan dipromosikan melalui beragam event pameran, baik di Jawa Timur maupun di luar pulau.
Meski kini Penunggul sudah rimbun dengan tanaman mangrove di bibir pantainya, namun menurutnya perjuangan belum usai. Selama masih diberi kesehatan dan umur panjang, dia akan terus fokus menjaga kelestarian alam melalui berbagai cara, termasuk dengan membagikan pengalamannya kepada sesama, khususnya para generasi muda untuk turut menjaga lingkungan sekitar.
Dari pengalamannya, Mukarim seringkali kedatangan rombongan dari berbagai negara, seperti Australia, Jepang, Belanda, Brunei Darusalam, Arab Saudi, Timor Leste, Malaysia, Singapura, Jerman dan Turki. Umumnya merka ingin belajar dari pengalaman Mukarim sekaligus melakukan penelitian tentang hutan mangrove, mulai dari mengambil sampel air, lumpur, akar, daun, buah bahkan sampai akarnya untuk dikembangkan di negara masing-masing.
Atas dedikasi dan kecintaannya merawat lingkungan pesisir yang dilakukannya selama puluhan tahun itu, Mukarim menerima segudang penghargaan, seperti Kalpataru pada 2005 dan hingga kini dipertahankannya serta berbagai penghargaan lainnya.